Sabtu, 16 April 2016

ASAS-ASAS DAN PRINSIP PENGEMBANGAN KURIKULUM//MAHASISWI UIN SU

BAB I
PENDAHULUAN

Pengembangan kurikulum didasari atas berbagai asas atau landasan dan prinsip-prinsip kurikulum yang meliputi:
Asas filsafat dalam asas ini mengandung nilai-nilai atau cita-cita masyarakat. Asas filsafat dalam pengembangan kurikulum meliputi: secara ontologis, yang artinya manusia memiliki potensi baik potensi jasmani maupun nafsiah sehingga manusia siap mengadakan hubungan yang berbentuk vertikal dengan halblu minnallah. Secara epistemologis, pengembangan yang terjadi pada kurikulum memiliki dasar rasional tertentu. Ketiga, secara aksiologi pengembangan kurikulum diarahkan pada pengembangan kemampuan menjalankan tugas-tugas tertentu.
Asas psikologis, asas psikologis berhubungan dengan bagaimana perkembangan kurikulum bagi peserta didik berdasarkan dari segi perkembangan peserta didik. Agar didalam pengembangan kurikulum yang dilakukan sesuai dengan peserta didik. pada dasarnya maka psikologi peserta didik ini nanti akan menjadikan dasar-dasar pembelajaran yang sesuai dengan yang diharapkan oleh kurikulum yang berlaku. Teori belajar dijadikan dasar bagi proses belajar mengajar. Dengan demikian ada hubungan yang erat antara kurikulum dan psikologi peserta didik. karena adanya hubungan yang sangat erat itu maka psikologi menjadai salah satu asas dasar pengembangan kurikulum.
Asas sosiologis dalam pengembangan kurikulum hendaknya memperhatikan keadaan lingkungan. bahwasanya peserta didik hidup didalam masyarakat karena itu Peserta didik harus memenuhi tugas-tugasnya yang harus dilakukannya dengan penuh tanggung jawab, baik ketika peserta didik masih sebagai anak-anak maupun ketika peserta didik sudah dewasa. Peserta didik dapat memenuhi tugas nya didalam masyarakat bilamana sekolah dapat berfungsi dengan baik dalam mempersiapkan anak didik agar anak didik dapat berperan aktif didalam masyarakat. Oleh sebab masyarakat suatu faktor yang begitu penting dalam pengembangan kurikulum, maka masyarakat dijadikan salah satu asas.
Asas organisator berkenaan dengan bahan pelajaran yang akan disajiakan ada yang berbentuk mata pelajaran terpisah-pisah, ataukah diusahakan adanya hubungan antara pelajaran yang diberikan seperti broad field. Tidak ada kurikulum yang baik dan tidak baik. Bahwasanya setiap organisasi kurikulum mempunyai kebaikan akan tetapi tidak bisa juga dilepaskan dengan berbagai kekurangan jika ditinjau dari segi-segi tertentu. Sebenarnya dalam praktik pengajaran di depan kelas tiga organisasi itu telah dilaksanakan, tetapi tidak secara murni. Contohnya:
a. Bidang studi matematika : separated
b. Bidang studi IPA : correlated
c. Bidang studi IPS : correlated
d. Muatan lokal : integrated
Asas perkembangan ilmu dan teknologi jika kita bandingkan dengan negara tetangga negara kita masih tertinggal sebagai contoh negara Indonesia masih tertinggal jika kita bandingkan negara Singapura yang dikategorikan sebagai negara maju di kawasan Asia Tenggara. Oleh karena itu dalam pengembangan kurikulum perlu mengkaji kebutuhan masyarakat bukan hanya berpatokan kepada nilai-nilai akan tetapi juga asas perkembangan dan teknologi ini perlu dijadikan bahanm pertimbangan dalam melakukan pengembangan terhadap kurikulum.
Adapun prinsip-prinsip yang mempengaruhi pengembangan kurikulum meliputi:
Prinsip berorientasi pada tujuan yang mana pada tujuan ini merupakan penjabaran atau upaya untuk mencapai tujuan satuan dan jenjang pendidikan tertentu.
Prinsip relevansi, dalam melakukan pengembangan kurikulum tujuan, isi dan sistemnya harus relevan dengan kebutuhan dan keadaan masyarakat. Prinsip relevansi terbagi kepada relevansi internal dan relevansi eksternal.
Prinsip efesien dan efektif, efesien meliputi pendayagunaan dana, waktu, tenaga dan sumber-sumber yang tersedia. Efektivitas meliputi ruangan belajar, peralatan dan sumber baca harus digunakan secara tepat.
Prinsip fleksibelitas, pengembangan kurikulum disesuaikan berdasarkan ekosistem agar kurikulum tidak menjadi baku dan statis.
Prinsip berkesinambungan, dalam nmelakukan pengembangan kurikulum dilakukan secara berurutan agar satu sama lain memiliki hubungan fungsional yang bermakna.
Prinsip keseimbangan, keseimbangan antara teori dan praktek agar terjalin keterpaduan yang lengkap dan menyeluruh.
Prinsip mutu, pengembangan kurikulum berdasarkan kriteria tujuan pendidikan nasional dan berorientasi pada hasil pendidikan yang berkualitas.



BAB II
PEMBAHASAN
ASAS-ASAS DAN PRINSIP-PRINSIP
PENGEMBANGAN KURIKULUM
A. Asas-Asas Pengembangan Kurikulum
Menurut Al-Rasyidin dalam Neliwati secara etimologis, asas bermakna hukum dasar, dasar sesuatu yang menjadi tumpuan berfikir, atau dasar cita-cita. Karena yang dimaksud dengan asas adalah landasan yang menjadi dasar dalam pembentukan kurikulum pendidikan islami. Dalam konteks ini, bangunan dan semua unsur yang membentuk bangunan kurikulum pendidikan islami tersebut harus tersusun dan mengacu kepada satu sumber kekuatan yang menjadi landasan dalam pembentukannnya. Sumber kekuatan itulah yang disebut dengan asas-asas pembentukan kurikulum pendidikan islam.
Menurut Sukama Karya dalam Neliwati, asas pengembangan kurikulum adalah nilai-nilai, tradisi, kepercayaan, dan kekuatan lain yang berpengaruh terhadap bentuk dan kualitas pendidikan yang akan diberikan sekolah kepada peserta didik.
Asas pengembangan kurikulum merupakan landasan dasar yang menjadi tumpuan dalam mengembangkan kurikulum dalam pendidikan islam. asas-asas yang mendasari pengembangan kurikulum meliputi:
1. Asas Filosofis
Asas filosofis dalam penyusunan kurikulum, berarti bahwa dalam penyusunan kurikulum hendaknya berdasar dan terarah pada falsafah bangsa yang dianut. Dalam penyusunan kurikulum di Indonesia yang harus diacu adalah filsafat pendidikan pancasila. Filsafat pendidikan dijadikan dasar dan arah, sedangkan pelaksanaannya melalui pendidikan.
Asas filosofis, berkaitan dengan apa yang menjadi tujuan dari pendidikan, siapa pendidik dan terdidiknya, apa isi pendidikan dan bagaimana proses interaksinya.
Sebagai suatu landasan fundamental, filsafat memegang peranan penting dalam proses pengembangan kurikulum. Ada empat fungsi filsafat dalam proses pengembangan kurikulum. Pertama, filsafat dapat menentukan arah dan tujuan pendidikan. Dengan filsafat sebagai pandangan hidup atau value system, maka dapat ditentukan mau dibawa ke mana siswa yang kita didik itu. Kedua, filsafat dapat menentukan atau materi pelajaran yang harus diberikan sesuai dengan tujuan yang ingin dicapai. Ketiga, filsafat dapat menentukan strategi atau cara penyampaian tujuan. Filsafat sebagai sistem nilai dapat dijadikan pedoman dalam merancang kegiatan pembelajaran. Keempat, melalui filsafat dapat ditentukan bagaimana menentukan tolak ukur keberhasilan proses pendidikan.
Ada empat aliran utama dalam filsafat yaitu aliran idealisme, realisme, pragmatisme, dan eksistensialisme.
Aliran idealisme memandang bahwa kebenaran itu datangnya dari “Yang Maha Kuasa”. Filsafat ini umumnya diterapkan di sekolah yang berorientasi religius. Namun juga pendidikan intelektual juga sangat diutamakan dengan menentukan standar mutu yang tinggi. Tentang pengetahuan aliran ini menganggap pengetahuan itu datangnya dari kekuasaan Tuhan. Manusia tidak perlu meragukan segala kebenarannya tetapi harus mematuhinya.
Aliran realisme memandang, bahwa manusia pada dasarnya dapat menemukan dan mengenal realitas sebagai hukum-hukum universal, hanya saja dalam menentukannya itu dibatasi oleh kelambanan sesuai dengan kemampuannya. Menurut aliran ini sesuatu itu merupakan kebenaran manakala bisa dibuktikan melalui pengalaman, manakala tidak dapat dibuktikan bukanlah kebenaran. Mengenai norma atau nilai, menurut pandangan ini disesuaikan dengan penemuan ilmiah. Norma dapat berubah sesuai dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi.
Aliran pragmatisme, aliran ini beranggapan bahwa kebenaran adalah buatan manusia berdasarkan pengalamannya. Tidak ada kebenaran mutlak, kebenaran dapat berubah. Yang baik, ialah yang berakibat baik bagi masyarakat. Pengetahuan diperoleh dari pengamatan dan konteks sosial yang berguna untuk kehidupan masyarakat. Karena yang menjadi ukuran adalah kehidupan sosial, maka norma juga dapat berbeda menurut kebutuhan masyarakat.
Aliran eksistensialisme mengakui, bahwa sebagai individu setiap manusia memiliki kelemahan-kelemahan, namun demikian setiap individu itu dapat memperbaiki dirinya sendiri sesuai dengan norma-norma dan keyakinan yang ditentukan sendiri. Setiap individu memiliki kebebasan untuk memilih. Norma-norma ditentukan sendiri sesuai dengan kebebasan itu. Dengan demikian, setiap individu bisa memiliki norma yang berbeda.
Asas filosofis pengembangan kurikulum pendidikan islam setidak-tidaknya bertolak dari landasan filosofis sebagai berikut:
a. Secara ontologis, manusia memiliki potensi jasmaniyah, nafsiyah yang mengandung dimensi al-nafsu, al-‘aql dan al-qalb, sehingga ia siap mengadakan hubungan vertical dengan halblu minnallah. Manusia diciptakan untuk dapat mengembangkan tugas di muka bumi, baik sebagai hamba ALLAH maupun khalifah-Nya. Untuk dapat mewujudkan fungsi kekhalifahannya, seseorang harus:
1. Memiliki ilmu pengetahuan dan keterampilan,
2. bisa melaksanakan tugas atau pekerjaan sesuai ilmu dan keterampilan yang dimilikinya,
3. bisa menemukan jati dirinya, dan
4. bisa bekerja sama dengan orang lain, berbuat sesuatu yang bermanfaat bagi orang lain.
b. Secara epistemologis, pengembangan kurikulum memiliki dasar rasional tertentu, yaitu:
1. siapa yang akan dijadikan peserta didik,
2. apa kompetensi hasil didik, sebagai apa,
3. siapa yang membutuhkan hasil didik, berapa jumlahnya, dan bagaimana
Jenjang karir yang tersedia di masyarakat?, dan
4. bagaimana proses pendidikan agar tujuan yang diinginkan terwujud?
Atas dasar itu, pengembangan kurikulum dilakukan untuk menjawab beberapa pertanyaan sebagai berikut:
a. Kompetensi-kompetensi apa saja yang akan dicapai peserta didik dalam program pendidikan?
b. Kemampuan-kemampuan dasar apa yang harus dimiliki setiap peserta didik dan bagaimana cara untuk menempuhnya?
c. Apa indikator-indikator atau bukti-bukti yang menunjukkan bahwa peserta didik telah sukses dalam mencapai kemampuan dasar dan hasil belajar yang telah diterapkan?
d. Agar peserta didik dapat mencapai hasil belajar atau mewujudkan indikator-indikator hasil belajar tersebut, maka hal-hal, masalah-masalah, latihan-latihan apa yang harus di bahas dan dikerjakan oleh mereka dalam kegiatan pembelajaran?
e. Untuk dapat mencapai hasil belajar atau mewujudkan indikator-indikator hasil belajar dengan berbagai pokok bahasan dan sub pokok bahasan tersebut, maka kegiatan-kegiatan apa yang harus dialami peserta didik dalam kegiatan belajar mengajar, dan bagaimana cara menilai keberhasilannya?
f. Apa saja sarana dan sumber belajar, tenaga kependidikan yang seperti apa dan bagaimana, dan berapa biaya yang diperlukan, serta apa peran dan tanggung jawab pimpinan, unit-unit, dan lain-lain untuk mencapai hasil belajar atau untuk mewujudkan indicator-indikator hasil belajar tersebut?
g. Berapa jam pelajaran yang diperlukan untuk dapat mencapai hasil belajar atau mewujudkan indikator-indikator hasil belajar tersebut?
c. Secara aksiologis, pengembangan kurikulum diarahkan pada pengembangan kemampuan menjalankan tugas-tugas tertentu. Tugas-tugas tersebut bisa berbasis pada:
1. Kebutuhan pemerintah dan kebutuhan users (para pengguna) jasa hasil didik,
2. Kebutuhan pengembangan akademik atau keilmuan,
3. Kebutuhan sekolah itu sendiri, dan
4. Kebutuhan individu atau peserta didik.
Berdasarkan pemikiran-pemikiran di atas, landasan filosofis dalam pengembangan kurikulum berfungsi untuk:
1. Menentukan arah dan tujuan pendidikan. Filsafat sebagai pandangan hidup atau value system, dapat menentukan mau dibawa kemana peserta didik,
2. Menentukan isi atau materi ajar yang disesuaikan dengan tujuan yang ingin dicapai,
3. Menentukan strategi atau cara pencapaian tujuan. Filsafat sebagai sistem nilai dapat dijadikan sebagai pedoman dalam merancang kegiatan-kegiatan pembelajaran,
4. menentukan tolak ukur keberhasilan pengajaran.
2. Asas Psikologis
Asas psikologi berarti kegiatan yang mengacu pada hal-hal yang bersifat psikologi. Sebab pendidikan adalah menyangkut perilaku manusia itu sendiri, mendidik berarti merubah tingkah laku anak menuju dewasa.
Asas psikologi, berkaitan dengan bahwa pengembangan kurikulum perlu mempertimbangkan kondisi psikologis peserta didik. kondisi psikologis merupakan karekteristik psiko-fisik sebagai individu, yang dinyatakan dalam berbagai bentuk perilaku dalam interaksi dengan lingkungannya. Perilaku tersebut merupakan manifestasi dari ciri-ciri kehidupannya, baik yang tampak maupun yang tidak tampak, perilaku kognitif, afektif dan psikomotorik. Secara psikologis, anak didik memiliki keunikan dan perbedaan-perbedaan baik perbedaan minat, bakat, maupun potensi yang dimilikinya sesuai dengan tahapan perkembangannya. Oleh karena itu dalam proses belajar-mengajar selalu dikaitkan dengan teori-teori perubahan tingkah laku anak.
Beberapa teori belajar yang dikenalkan antara lain:
1. Teori behaviorisme
Teori ini bertitik tolak pada pandangan bahwa belajar merupakan perubahan tingkah laku. Artinya bahwa anak (siswa) sebagai organism yang merespon terhadap stimulus dari dunia sekitarnya. Teori ini lebih dikenal dengan istilah (S) stimulus dan (R) respon atau (O) organism, yang disingkat dengan istilah S-O-R.
Fungsi guru dalam kaitannya dengan teori ini ialah guru menyajikan stimulus tertentu yang dapat membangkitkan respon siswa berupa hasil belajar yang diinginkan.
2. Teori psikologi daya
Aliran ini berprinsip bahwa belajar adalah mendisiplinkan dan menguatkan daya-daya mental dan daya pikir melalui latihan yang ketat. Sebagai contoh bila otak dikembangkan melalui studi matematika. Atau bidang studi lainnya, maka ia akan mampu mentransferkan pelajaran itu kepada bidang yang lainnya, hal ini disebabkan oleh kemampuan daya pikir dan mentalnya yang berkembang.
Sebenarnya teori ini telah ditinggalkan, karena tidak sesuai dengan perkembangan, dimana anak dipandang sebagai orang dewasa mini (kecil) yang belajar dengan dasar yang sama seperti ilmuwan dewasa. Walaupun ada sekolah-sekolah atau lembaga pendidikan yang menganut teori ini, namun tidak lagi dominan dalam mengorganisasikan kurikulum dewasa ini.
3. Teori perkembangan kognitif
Tahapan-tahapan perkembangan kognitif itu, menurut piaget terdiri dari 4 fase, yaitu:
1. Sensori-motorik (0-18 atau 24 bulan)
Piaget berpendapat bahwa dalam perkembangan kognitif selama stadium sensori motorik ini, intelegensi anak baru nampak dalam bentuk aktivitas motorik sebagai reaksi stimulasi sensorik. Dalam stadium ini yang penting adalah tindakan konkrit dan bukan tindakan imaginer atau hanya dibayangkan saja. Selama stadium sensori motoris ini anak berkembang suatu proses. Piaget menamakan proses ini proses desentrasi, artinya anak dapat memandang dirinya sendiri dan lingkungan sebagai dua sisi yang berbeda.
2. Stadium pra-operasional (24 bulan-7 tahun)
Pada fase ini menurut piaget ditandai dengan beberapa ciri. Pertama, adanya kesadaran dalam diri anak tentang suatu objek. Artinya, pandangan terhadap benda sudah tidak melalui mengandalkan indranya seperti pada masa sensorimotor. Kedua, pada fase ini kemampuan anak dalam berbahasa mulai berkembang. Anak akan mampu mengekspresikan sesuatu dengan kalimat pendek namun efektif. Ketiga, fase praoperasional ini dinamakan fase intuisi, sebab pada masa ini anak mulai mengetahui perbedaan antara objek-objek sebagai suatu bagian dari individu atau sekelasnya. Keempat, pandangan terhadap dunia, pada fase ini bersifat “animistic” artinya, bahwa segala sesuatu yang bergerak di dunia ini adalah “hidup”. Kelima, pada fase ini pengamatan dan pemahaman anak terhadap situasi lingkungan sangat dipengaruhi oleh sifatnya yang “egocentric”.
3. Operasional konkret (7-11 tahun)
Dikatakan fase operasional konkret karena pada masa ini pikiran anak terbatas pada objek-objek yang ia jumpai pada pengalaman-pengalaman langsung. Kemampuan kognitif yang dimiliki anak pada fase ini meliputi: conversation atau pengekalan adalah kemampuan anak dalam memahami aspek-aspek kumulatif materi, seperti volume dan jumlah. Addition of classes (penambahan golongan benda) , yaitu kemampuan anak dalam memahami cara mengombinasikan benda-benda yang dianggap memiliki kelas yang rendah dan dihubungkan dengan kelas yang lebih tinggi. Multifrication of classes (pelipatgandaan golongan benda), yaitu kemampuan yang melibatkan pengetahuan mengenai cara mempertahankan dimensi-dimensi benda seperti warna bunga dan jenis bunga untuk membentuk gabungan golongan benda, seperti warna merah.
4. Operasional formal (12-14 tahun ke atas)
Piaget menamakan fase ini sebagai fase “formal operational, karena pada masa ini pola berpikir anak sudah sistematik dan meliputi proses-proses yang kompleks. Aktivitas proses berpikir pada fase ini mulai menyerupai cara berpikir orang dewasa, karena kemampuannya yang sudah berkembang pada hal-hal yang bersifat abstrak.
Salah satu teori yang banyak digunakan untuk memahami perkembangan siswa adalah teori perkembangan kognitif yang dikemukakan oleh piaget. Teori piaget dipengaruhi oleh biologi dan epistemology (ajaran mengenai pengenalan). Menurut piaget, perkembangan intelektual (kognitif) setiap individu berlangsung dalam tahapan-tahapan tertentu.
Dalam mengambil keputusan tentang kurikulum pengetahuan tentang psikologi anak dan bagaimana anak belajar sangat diperlukan, antara lain:
1. Seleksi dan organisasi bahan pelajaran,
2. Menentukan kegiatan belajar yang paling serasi,
3. Merencanakan kondisi belajar yang optimal agar tujuan belajar tercapai.
Pengembangan kurikulum tidak akan terlepas dari teori belajar. Sebab, pada dasarnya kurikulum disusun untuk membelajarkan siswa. Banyak teori yang membahas tentang belajar sebagai proses perubahan tingkah laku. Namun demikian, setiap teori itu berpangkal dari pandangan tentang hakikat manusia, yaitu hakikat manusia menurut pandangan John Locke dan hakikat manusia menurut Leibnitz.
Menurut John Locke, manusia itu merupakan organisme yang pasif. Dengan teori tabularasa-nya, Locke menganggap bahwa manusia itu seperti kertas putih, hendak ditulis apa kertas itu sangat tergantung pada orang yang menulisnya. Dari pandangan yang mendasar tentang hakikat manusia itu, muncullah aliran belajar behavioristik-elementeristik. Leibnitz menganggap bahwa manusia adalah organisme yang aktif. Manusia merupakan sumber dari pada semua kegiatan. Titik pusat kebebasan ini adalah kesadaran dirinya.
3. Asas Sosiologis
Asas sosiologis merupakan keadaan masyarakat, perkembangan dan perubahannya, kebudayaan manusia, hasil kerja manusia berupa pengetahuan, dan lain-lain. Berbagai hal yang harus dipertimbangkan dalam proses menyusun dan mengembangkan suatu kurikulum sesuai dengan kebutuhan dan tuntutan masyarakat.
a. Kekuatan sosial yang dapat mempengaruhi kurikulum
Dalam kehidupan sosial yang semakin kompleks maka muncul pula berbagai kekuatan kelompok yang dapat memberikan tekanan terhadap penyelenggaraan dan praktik pendidikan termasuk di dalamnya tekanan-tekanan dalam proses pengembangan isi kurikulum sebagai alat dan pedoman penyelenggaraan pendidikan. Kesulitan yang dihadapi oleh para pengembang kurikulum adalah manakala setiap kelompok sosial itu memberikan masukan dan tuntutan yang berbeda sesuai dengan kepentingan kelompoknya, seperti misalnya tuntutan golongan agama, politik, militer, industry, dan lain sebagainya. Bukan hanya itu, pertentangan-pertentangan pun sering terjadi sehubungan dengan cara pandang yang berbeda tentang makna pendidikan setiap kelompok tersebut. Misalkan, cara pandang kelompok agamawan atau kelompok budayawan yang lebih menekankan pendidikan di sekolah sebagai proses penanaman budi pekerti berbeda dengan cara pandang kelompok industriawan yang lebih menekankan pendidikan di sekolah sebagai wadah untuk membentuk generasi manusia yang siap pakai dengan sejumlah keterampilan teknis sesuai dengan tuntutan industri.
Cara pandang yang berbeda semacam ini tentu saja memunculkan kriteria keberhasilan yang berbeda pula, yang pada gilirannya tolak ukur keberhasilan itu tidak pernah memuaskan semua golongan sosial.
Walaupun dirasa sangat susah, para pengembang kurikulum mestinya memerhatikan setiap tuntutan dan tekanan masyarakat yang berbeda itu. Oleh sebab itu, menyerap berbagai informasi yang dibutuhkan masyarakat merupakan salah satu langkah penting dalam proses penyusunan suatu kurikulum. Dalam konteks inilah pengembangan kurikulum perlu menjalankan peran evaluatif dan peran kritisnya dalam menentukan muatan kurikulum. Melaksanakan peran evaluatif dan peran kritis adalah proses pengkajian secara kritis tentang apa saja muatan kurikulum yang dianggap layak untuk dipelajari oleh anak didik.
4. Asas Organisatoris
Asas organisatoris adalah asas yang mempertimbangkan bentuk dan organisasi bahan pelajaran yang disajikan. Asas ini berkenaan dengan masalah, dalam bentuk yang bagaimana pelajaran akan disajikan. Apakah dalam bentuk mata pelajaran yang terpisah-pisah, ataukah diusahakan adanya hubungan antara pelajaran yang diberikan, misalnya dalam bidang studi seperti IPA, IPS, bahasa, dan lain-lain. Bahwa tidak ada kurikulum yang baik dan tidak baik. Setiap organisasi kurikulum mempunyai kebaikan akan tetapi tidak lepas dari kekurangan ditinjau dari segi-segi tertentu. Selain itu, bermacam-macam organisasi kurikulum dapat dijalankan secara bersama di satu sekolah, bahkan yang satu dapat membantu atau melengkapi yang satu lagi. Dalam pengembangan kurikulum harus diadakan pilihan. Sering dikatakan bahwa “curriculum is a matter of choice”, kurikulum adalah soal pilihan. Dalam hal ini pilihan banyak bergantung pada pendirian atau sikap seseorang tentang pendidikan.
Ada tiga pola kurikulum yang biasa kita kenal selama ini, yaitu:
a. Kurikulum yang berisi sejumlah mata pelajaran terpisah-pisah (separate subject curriculum). Pada bentuk ini, bahan yang dikelompokkan pada mata pelajaran yang sempit, dimana antara mata pelajaran yang satu dengan lainnya menjadi terpisah-pisah, terlepas dan tidak mempunyai kaitan sama sekali, sehingga banyak jenis mata pelajaran menjadi sempit ruang lingkupnya. Contohnya: IPA, IPS, Sejarah, Bahasa, Agama, Geografi, Biologi.
Keuntungan dari bentuk kurikulum ini, antara lain:
1. Penyajian bahan pelajaran dapat disajikan / disusun secara logis dan sistematis.
2. Mudah dievaluasi dan dites.
3. Dapat digunakan dari tingkat sekolah dasar sampai perguruan tinggi.
Kelemahan dari bentuk kurikulum ini, antara lain:
1. Tujuan kurikulum ini sangat terbatas, karena hanya memusatkan pada perkembangan intelektual anak.
2. Bentuk mata pelajaran yang terpisah menjadikan tidak relevan.
3. Kurikulum ini cenderung menjadi statis dan tidak bersifat inovatif.
b. Kurikulum yang berisi sejumlah mata pelajaran yang dihubungkan (correlated curriculum) adalah bentuk kurikulum yang menunjukkan adanya suatu hubungan antara satu mata pelajaran dengan mata pelajaran lainnya, tetapi tetap memperhatikan ciri / karakteristik tiap bidang studi tertentu. Hubungan (korelasi) antara mata pelajaran tersebut dapat dilakukan secara:
1. Incidental, artinya secara kebetulan ada hubungan antara mata pelajaran yang satu dengan mata pelajaran lainnya, sebagai contoh: bidang studi IPA juga disinggung tentang Geografi, Antropologi, dan sebagainya.
2. Hubungan yang lebih erat, misalnya suatu pokok permasalahan yang diperbincangkan dalam berbagai bidang studi.
3. Batas mata pelajaran disatukan dan difungsikan, yakni dengan menghilangkan batasan masing-masing mata pelajaran tersebut, disebut dengan broad field.
c. Kurikulum yang terdiri dari peleburan (fusi) sejumlah mata pelajaran sejenis (broad field).
Di dalam kurikulum sekarang ini kita mengenal lima macam broad field, yaitu:
1. Ilmu pengetahuan sosial, peleburan dari mata pelajaran ilmu bumi, sejarah, civic hukum, ekonomi dan sejenisnya.
2. Bahasa, peleburan dari mata pelajaran membaca, tata bahasa, menulis, mengarang, menyimak dan pengetahuan bahasa.
3. Ilmu pengetahuan alam, peleburan dari mata pengetahuan ilmu alam, ilmu hayat, ilmu kimia, dan kesehatan.
4. Matematika, peleburan dari berhitung, aljabar, ilmu ukur sudut, ruang, bidang, dan statistic.
5. Kesenian, peleburan dari seni tari, seni suara, seni lukis, seni pahat, dan seni drama.
Kelebihan dari broad field kurikulum, diantaranya:
1. Menunjukkan adanya integrasi pengetahuan kepada siswa.
2. Pengetahuan dan pemahaman siswa akan lebih mendalam.
3. Adanya kemungkinan untuk menggunakan ilmu pengetahuan lebih fungsional.
Kelemahan broad field:
1. Pengetahuan yang diberikan tidak mendalam dan kurang sistematis pada berbagai mata pelajaran.
2. Urutan penyusunan dan penyajian bahan tidak secara logis dan sistematis.
3. Kebanyakan diantara para guru tidak atau kurang menguasai antar disiplin ilmu, sehingga dapat mengaburkan pemahaman siswa.
Menurut S. Nasution dalam Neliwati, ada beberapa organisasi kurikulum yaitu:
1. Kurikulum berdasarkan mata pelajaran (subject curriculum, bertujuan agar generasi muda mengenal hasil kebudayaan dan pengetahuan umat manusia yang telah dikumpulkan sejak berabad-abad, agar mereka tak perlu mencari dan menemukan kembali apa yang telah diperoleh generasi-generasi yang terdahulu. Keuntungannya adalah bahwa pengetahuan yang telah dimiliki itu telah disusun secara logis dan sistematis dalam bentuk disiplin ilmu oleh para ahli dan ilmuwan. Disiplin ilmu tidak hanya mempunyai sisi atau bahan, akan tetapi juga memiliki metode atau cara berpikir tertentu sehingga cabang ilmu itu dapat selanjutnya dikembangkan. Disamping memiliki sisi keuntungan, bentuk kurikulum ini juga memiliki kelemahan, yaitu terdapat kesenjangan antara pengalaman anak dengan pengalaman umat manusia yang tersusun logis sistematis, sehingga timbul bahaya verbalisme, kurikulum bentuk ini sering memberikan pengetahuan yang lepas-lepas, sering berupa fakta dan informasi yang perlu dihafalkan. Dengan demikian, siswa memperoleh pengetahuan yang mendangkal tentang banyak hal.
2. Kurikulum gabungan (correlated curriculum), yang merupakan modifikasi dari kurikulum subject yang terpisah-pisah. Agar pengetahuan anak tidak lepas-lepas maka diusahakan hubungan antara dua mata pelajaran atau lebih yang dapat dipandang sebagai kelompok yang pada hakikatnya mempunyai hubungan yang erta. Maka berbagai mata pelajaran digabung menjadi “broad field” seperti IPS. Terbentuknya kurikulum gabungan ini didorong oleh usaha mengadakan integrasi dalam pengetahuan anak dan mencegah penguasaan bahan yang banyak akan tetapi dangkal dan lepas-lepas sehingga tidak fungsional.
3. Kurikulum terpadu, yaitu dengan cara mengintegrasikan bahan pelajaran dari berbagai mata pelajaran. Integrasi ini tercapai dengan memusatkan pelajaran pada masalah tertentu yang memerlukan pemecahannya dengan bahan dari segala macam disiplin atau mata pelajaran yang diperlukan. Bahan mata pelajaran menjadi instrumental untuk memecahkan masalah. Batas-batas antara mata pelajaran dapat ditiadakan. Kurikulum ini membuka kesempatan yang lebih besar untuk mengadakan kerja kelompok, memanfaatkan masyarakat dan lingkungan sebagai sumber belajar, memperhatikan perbedaan individual.
4. Social function, salah satu jenis kurikulum terpadu yang didasarkan pada analisis kegiatan-kegiatan utama manusia dalam masyarakat yang disebut “sosial function” atau “major areas of living” yang antara lain terdiri atas (1) perlindungan dan pelestarian hidup, kekayaan dan sumber alam, (2) produksi barang dan jasa serta distribusinya, (3) konsumsi benda dan jasa, (4) komunikasi dan transfortasi benda dan manusia, (5) rekreasi, (6) ekspresi rasa keindahan, (7) ekspresi rasa keagamaan, (8) pendidikan, (9) perluasan kebebasan, (10) integrasi kepribadian, dan (11) penelitian. Dalam social function ini kiranya dapat dimasukkan seluruh kegiatan umat manusia. Tujuannya adalah agar para siswa dapat mengenal segala macam kegiatan manusia dalam masyarakat dan diharapkan akan lebih mengenal segala macam kegiatan manusia dalam masyarakat. Apa yang dimaksud dalam sosial function itu termasuk scope atau ruang lingkup kurikulum. Sequence atau urutannya biasanya ditentukan menurut pusat-pusat minat siswa, antara lain menurut lingkungan minat yang meluas, yakni yang berkenaan dengan kehidupan di rumah, sekolah, lingkungan dekat, kemudian lingkungan lokal, kabupaten, propinsi, pulau, negara, Negara-negara tetangga, dan Negara-negara lain di dunia.
5. Kurikulum yang berdasarkan minat dan kebutuhan pemuda, terdiri dari 11 bidang yaitu: (1) kesehatan dan perkembangan fisik, (2) keuangan, keadaan hidup, dan pekerjaan, (3) kegiatan sosial dan rekreasi, (4) hubungan dengan jenis kelamin lain, perkawinan, (5) hubungan sosial psikologis, (6) hubungan pribadi-psikologis, (7) moral dan agama, (8) rumah dan keluarga, (9) masa depan, jabatan, dan pendidikan, (10) penyesuaian dengan pekerjaan sekolah, (11) kurikulum dan proses belajar mengajar.
6. Kurikulum inti (core curriculum), ciri-cirinya adalah: (1) merupakan rangkaian pengalaman yang saling berkaitan, (2) direncanakan secara kontinu, terus-menerus sebelum dan selama dijalankan, (3) didasarkan atas masalah atau problema, (4) yang bersifat pribadi dan sosial, (5) diperuntukkan bagi semua siswa, jadi termasuk pendidikan umum. Core ini menggunakan bahan dari semua disiplin ilmu atau mata pelajaran yang diperlukan untuk memecahkan masalah yang dihadapi, termasuk bahan dari lingkungan. Core ini banyak dilakukan dengan perencanaan bersama oleh guru-guru dan juga murid. Bimbingan dan penyuluhan merupakan bagian integral dari program ini. Core ini dilakukan organisasi kurikulum yang terpadu dan diberikan di dalam kelas dalam periode yang agak panjang, misalnya dua jam berturut-turut. Pokok-pokok yang dapat dipilih, misalnya: memahami dan menghormati orang lain, melestarikan sumber alam, memilih jabatan, bergaul dengan orang lain, kehidupan dalam rumah tangga, membangun dunia yang damai, dan lain-lain.
7. Activity curriculum, atau disebut juga dengan experience curriculum menonjolkan bahwa kurikulum ini mengutamakan kegiatan dan pengalaman anak, walaupun dalam tiap kurikulum anak dapat diberikan berbagai kegiatan dan pengalaman. Kurikulum ini menggunakan minat anak sebagai pusat kegiatan. Kurikulum ini tak banyak dilaksanakan dalam praktek pengajaran dan hanya pada tingkat sekolah rendah.
5. Asas perkembangan ilmu dan teknologi
Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi telah membawa beberapa perubahan dan kemajuan dalam kehidupan masyarakat. Kemajuan yang telah diraih oleh umat manusia, bukan tanpa masalah. Sebab pada kenyataannya terdapat beberapa efek negatif yang justru dapat mencemaskan manusia itu sendiri
Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi sebagai hasil kemampuan berpikir manusia telah membawa umat manusia pada masa yang tidak pernah terbayangkan sbelumnya. Terciptanya produk-produk teknologi semacam teknologi transportasi, misalnya bukan hanya menyebabkan manusia bisa menjelajahi seluruh pelosok dunia, akan tetapi manusia mampu menjelajahi ruang angkasa sebuah tempat yang dulu dibayangkannya sebagai tempat bersemayamnya para dewa. Demikian juga halnya dengan ditemukannya hasil teknologi informasi dan komunikasi, bukan hanya manusia dapat berhubungan secara langsung dengan orang yang tinggal diseberang sana, akan tetapi manusia dapat melihat berbagai peristiwa pada sat yang sama di seluruh belahan dunia.
Namun demikian, segala kemajuan yang telah mampu diraih oleh umat manusia itu, bukan tanpa masalah. Pada kenyataannya terdapat berbagai efek negatif yang justru sangat mencemaskan manusia itu sendiri. Diproduksinya alat-alat transpormasi, menyebabkan permasalahan kemacetan dan kecelakaan lalu lintas, yang setiap hari merenggut jiwa manusia. Pembangunan pusat-pusat industry menyebabkan terjadinya urbanisasi dengan berbagai permasalahannya, termasuk munculnya berbagai jenis kejahatan dan kriminalitas. Terciptanya hasil teknologi informasi dan komunikasi menyebabkan lunturnya dan terjadinya gesekan budaya yang pengaruhnya terhadap eksistensi kelompok masyarakat bukan main besarnya.
Munculnya permasalahan-permasalahan baru ini menyebabkan kompleksitas tugas-tugas pendidikan yang diemban oleh sekolah. Tugas sekolah semakin berat, dan kadang-kadang tidak mampu lagi melaksanakan semua tuntutan masyarakat. Sesuai dengan perubahan zaman, tugas-tugas yang dahulu bukan menjadi tugas sekolah, kini diserahkan kepada sekolah. Sekolah bukan hanya bertugas menanamkan dan mewarisi ilmu pengetahuan, akan tetapi juga harus memberi keterampilan tertentu serta menanamkan budi pekerti dan nilai-nilai.
Sesuai dengan perubahan yang sangat cepat itu, maka kurikulum yang berfungsi sebagai alat pendidikan, harus terus-menerus diperbaharui menyesuaikan dengan perubahan yang terjadi baik isi maupun prosesnya. Para pengembang kurikulum tentunya termasuk guru harus memahami perubahan itu, agar isi dan strategi yang dikembangkan dalam kurikulum sebagai alat pendidikan tidak menjadi usang.
Hal penting yang perlu diperhatikan dan diantisipasi oleh para pengembang kurikulum sehubungan dengan perubahan yang terjadi di masyarakat adalah mengenai perubahan pola hidup dan perubahan sosial politik.
1) Perubahan pola hidup
Perubahan pola hidup itu dikatakan banyak orang sebagai perubahan poal hidup yang bersifat agraris tradisional menuju pola kehidupan industri modern. Pertama, dilihat dari pola kerja. Kedua, pola hidup yang sangat tergantung kepada hasil-hasil teknologi. Ketiga, pola hidup dalam sistem perekonomian baru.
Dengan adanya perubahan-perubahan tersebut bukan hanya menuntut perubahan terhadap kurikulum akan tetapi dapat merubah lingkungan sekolah termasuk dengan cara merubah bahan-bahan bacaan yang dapat memperkenalkan peserta didik dengan fenomena-fenomena baru yang terjadi.
2) Perubahan kurikulum sosial politik
Arus globalisasi yang bergerak sangat cepat membawa perubahan kehidupan sosial politik ke seluruh penjuru dunia tak terkecuali ke dalam kehidupan sosial politik. Dengan munculnya era reformasi, semuanya mesti berubah. Pendidikan harus diarahkan untuk menciptakan manusia-manusia yang kritis dan demokratis. Berdasarkan UU nomor 22 dan 25 tahun 1999 untuk mengadakan perubahan jiwa dan strategi pendidikan di Indonesia.
Atas dasar berbagai hal tersebut, maka pengembang kurikulum dalam melaksanakan tugasnya harus memperhatikan hal-hal berikut:
1) Mempelajari dan memahami kebutuhan masyarakat seperti yang dirumuskan dalam undang-undang, keputusan pemerintah, peraturan-peraturan daerah dan lain sebagainya.
2) Menganalisis budaya masyarakat tempat sekolah berada
3) Menganalisis kekuatan serta potensi-potensi daerah.
4) Menganalisis syarat dan tuntutan tenaga kerja
5) Menginterpretasi kebutuhan individu dalam kerangka kepentingan masyarakat.
Dalam konteks dasar teknologis hal-hal diatas merupakan hal-hal yang sangat penting untuk dipahami oleh pengembangan kurikulum agar kurikulum atau program pendidikan bermanfaat dan dapat menjamin keberlangsungan hidup peserta didik dan masyarakat.
B. Prinsip-Prinsip Pengembangan Kurikulum
Menurut M. Arifin dalam Neliwati, dalam pengembangan kurikulum ada beberapa prinsip yang perlu diperhatikan agar kurikulum yang dihasilkan sesuai dengan apa yang diharapkan dan dapat berfungsi dengan baik. Ada empat prinsip yang mendasari pembentukan kurikulum pendidikan Islam, yaitu:
1. Kurikulum harus sejalan dengan identitas alami, yaitu kurikulum yang mengandung materi ilmu pengetahuan yang mampu berfungsi sebagai instrumen untuk mencapai kehidupan yang islami.
2. Agar dapat berfungsi sebagai alat efektif mencapai tujuan yang islami, kurikulum harus memuat tata nilai islami yang intrinsik dan ekstrinsik guna mewujudkan tujuan pendidikan islam.
3. Kurikulum yang islami harus diproses / diaktualitasikan dengan metode yang sesuai dengan nilai yang terkandung dalam tujuan pendidikan islam.
4. Antara kurikulum, metode, dan tujuan pendidikan Islam harus saling berkaitan (relevan) dengan produk (hasil) yang diinginkan tujuan pendidikan Islam.
Dalam proses pengembangan kurikulum ada sejumlah prinsip yang perlu dipertimbangkan. Prinsip-prinsip yang perlu dipertimbangkan meliputi:
1) prinsip relevansi
pengembangan kurikulum yang meliputi tujuan, isi dn sistem penyampaiannya harus relevan (sesuai) dengan kebutuhan dan keadaan masyarakat, tingkat perkembangan dan kebutuhan siswa, serta serasi dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.
Relevansi terbagi dua , yaitu relevansi internal dan relevansi eksternal. Relevansi internal adalah bahwa setiap kurikulum harus memiliki keserasian antara komponen-komponennya, yaitu keserasian antara tujuan yang harus dicapai, isi, materi atau pengalaman belajar yang harus dimiliki siswa, strategi atau metode yang digunakan serta alat penilaian untuk melihat kecapaian tujuan. Relevansi internal ini menunjukkan keutuhan suatu kurikulum.
Relevansi eksternal berkaitan dengan keseraian antara tujuan, isi, dan proses belajar siswa yang tercakup dalam kurikulum dengan kebutuhan dan tuntutan masyarakat. Ada tiga macam relevansi eksternal dalam pengembangan kurikulum yang perlu dipertimbangkan yaitu:
Pertama, relevan dengan lingkungan hidup peserta didik. artinya, bahwa proses pengembangan dan penetapan isi kurikulum hendaknya disesuaikan dengan kondisi lingkungan sekitar peserta didik.
Kedua, relevan dengan perkembangan zaman baik sekarang maupun dengan yang akan datang. Artinya, isi kurikulum harus sesuai dengan situasi dan kondisi yang sedang berkembang.
Ketiga, relevan dengan tuntutan dunia pekerjaan. Artinya, bahwa apa yang diajarkan disekolah harus mampu memenuhi dunia kerja.
Agar prinsip relevansi ini dapat terpenuhi, maka perlu dilakukan studi pendahuluan dengan menggunakan berbagai metode dan pendekatan dalam poses pengembangan sebelum ditentukan apa yang menjadi isi dan model kurikulum.
2) Prinsip Fleksibilitas Kurikulum
Kurikulum harus bersifat lentur atau fleksibel. Artinya, kurikulum itu harus bisa dilaksanakan sesuai dengan kondisi yang ada. Kurikulum yang kaku atau tidak fleksibel akan sulit diterapkan.
Prinsip fleksibel memiliki dua sisi: pertama, fleksibel bagi guru, yang artinya kurikulum harus memberikan ruang gerak bagi guru untuk mengembangkan program pengajarannya sesuai dengan kondisi yang ada. Kedua, fleksibel bagi siswa, artinya kurikulum harus menyediakan berbagai kemungkinan program pilihan sesuai dengan bakat dan minat siswa.
3) Prinsip Kontinuitas
Prinsip ini mengandung pengertian bahwa perlu dijaga saling keterkaitan dan kesinambungan antara materi pelajaran pada berbagai jenjang dan jenis program pendidikan. Dalam penyusunan materi pelajaran perlu dijaga agar apa yang diperlukan untuk mempelajari suatu materi pelajaran pada jenjang yang lebih tinggi telah diberikan dan dikuasai oleh siswa pada waktu mereka berada pada jenjang sebelumnya. Prinsip ini sangat penting bukan hanya untuk menjaga agar tidak terjadi pengulangan-pengulangan materi pelajaran yang memungkinkan program pengajaran tidak efektif dan efesien, akan tetapi juga untuk keberhasilan siswa dalam menguasai materi pelajaran pada jenjang pendidikan tertentu.
Untuk menjaga agar prinsip kontinuitas itu berjalan, maka perlu ada kerjasama antara pengembang kurikulum pada setiap jenjang pendidikan, misalnya para pengembang pendidikan pada jenjang sekolah dasar, jenjang SLTP, jenjang SLTA, dan bahkan dengan para pengembang kurikulum di perguruan tinggi.
4) Prinsip Efektivitas
Prinsip efektivitas berkenaan dengan rencana dalam suatu kurikulum dapat dilaksanakan dan dapat dicapai dalam kegiatan belajar mengajar. Terdapat dua sisi efektivitas dalam suatu pengembangan kurikulum. Pertama, efektivitas berhubungan dengan kegiatan guru dalam melaksanakan tugas mengimplementasikan kurikulum di dalam kelas. Kedua, efektivitas kegiatan siswa dalam melaksanakan kegiatan belajar. Efektivitas kegiatan guru berhubungan dengan keberhasilan mengimplementasikan program sesuai dengan perencanaan yang telah disusun.
Efektivitas kegiatan siswa berhubungan dengan sejauh mana siswa dapat mencapai tujuan yang telah ditentukan sesuai dengan jangka waktu tertentu. Sebagai contoh apabila ditetapkan dalam satu caturwulan siswa harus dapat mencapai sejumlah tujuan pembelajaran, ternyata hanya sebagian saja dapat dicapai siswa, maka dapat dikatakan bahwa, proses pembelajaran siswa tidak efektif.
5) Prinsip Efisiensi
Prinsip efisiensi berhubungan dengan perbandingan antara tenaga, waktu, suara, dan biaya yang dikeluarkan dengan hasil yang diperoleh. Kurikulum dikatakan memiliki tingkat efisiensi yang tinggi apabila dengan sarana, biaya yang minimal dan waktu yang terbatas dapat memperoleh hasil yang maksimal. Betapa bagus dan idealnya pun suatu kurikulum, manakala menurut peralatan, sarana dan prasarana yang sangat khusus serta mahal pula harganya, maka kurikulum itu tidak praktis dan sukar untuk dilaksanakan. Kurikulum harus dirancang untuk dapat digunakan dalam segala keterbatasan.
6) Prinsip Berorientasi Pada Tujuan
Pengembangan kurikulum mata pelajaran diarahkan untuk mencapai tujuan tertentu, yang bertitik tolak dari tujuan pendidikan dan tujuan kurikulum. Tujuan kurikulum merupakan penjabaran dan upaya untuk mencapai tujuan satuan dan jenjang pendidikan tertentu. Tujuan kurikulum mengandung aspek-aspek pengetahuan, keterampilan, sikap dan nilai yang selanjutnya diharapkan dapat menumbuhkan perubahan tingkah laku peserta didik yang mencakup tiga aspek (kognitif, afektif, dan psikomotorik) dan juga bertalian dengan aspek-aspek yang terkandung dalam pendidikan.
7) Prinsip Keseimbangan
Penyusunan kurikulum agar memperhatikan keseimbangan secara proporsional dan fungsional antara berbagai program dan sub program, antara semua mata ajaran, dan antara aspek-aspek perilaku yang ingin dikembangkan. Keseimbangan juga perlu dilakukan antara teori dan praktek, antara unsur-unsur keilmuan sains, sosial, humniora, dan keilmuan perilaku. Dengan keseimbangan tersebut diharapkan terjalin perpaduan antara yang lengkap dan menyeluruh, yang satu sama lainnya saling memberikan sumbangannya terhadap pengembangan pribadi.
8) Prinsip Keterpaduan
Kurikulum dirancang dan dilaksanakan berdasarkan prinsip keterpaduan. Perencanaan terpadu bertitik tolak dari masalah atau topik dan konsistensi antara unsur-unsurnya. Pelaksanaan dari prinsip keterpaduan dilakukan dengan cara melibatkan semua pihak, baik di lingkungan sekolah maupun pada tingkat intersektoral. Dengan keterpaduan ini diharapkan akan terbentuk pribadi siswa yang bulat dan utuh. Di samping itu juga pelaksanaan keterpaduan juga dilakukan dalam proses pembelajaran, baik dalam interaksi antara siswa dan guru maupun antara teori dan praktek.
9) Prinsip Mutu
Pengembangan kurikulum berorientasi pada pendidikan mutu dan mutu pendidikan. Pendidikan mutu berarti pelaksanaan pembelajaran yang bermutu, sedangkan mutu pendidikan berorientasi pada hasil pendidikan yang berkualitas. Pendidikan yang bermutu sangat ditentukan oleh derajat mutu guru, kegiatan belajar mengajar, peralatan / media yang bermutu. Hasil pendidikan yang bermutu diukur berdasarkan kriteria tujuan pendidikan yang diharapkan.
Berdasarkan pada ketentuan prinsip mutu tersebut, maka perlu penegasan tujuan pendidikan sebagai suatu tolak ukur pencapaian tujuan kurikulum dan pembelajaran. Misalnya Pendidikan Agama Islam yang bertujuan agar terbentuknya pribadi-pribadi muslim yang memiliki pengetahuan pengetahuan tentang hukum-hukum Islam, dan taat melaksanakan amalan-amalan sesuai dengan tuntunan dan ajaran Islam, serta bersikap sesuai dengan nilai dan norma-norma yang terkandung dalam ajaran-ajaran Islam.
Atas dasar itu, dalam konteks muatan pengembangan kurikulum dan tujuan pengembangan pembelajaran Pendidikan Agama Islam diarahkan pada tujuan menanamkan nilai-nilai.
Untuk mendidik karakter dan nilai-nilai yang baik, termasuk di dalamnya nilai keimanan kepada Tuhan YME, maka dalam muatan dan pengembangan kurikulum PAI perlu pembinaan terpadu antara dimensi moral knowing, moral feeling dan moral action. Ketiga dimensi tersebut saling berhubungan antara satu dengan yang lainnya yang dapat digambarkan sebagai berikut:











Gambar 1: pembinaan
terpadu moral knowing,
moral feeling,
moral action.
Garis yang menghubungkan antara satu dimensi dengan dimensi lainnya menunjukkan bahwa membina keimanan peserta didik diperlukan pengembangan ketiga-tiganya secara terpadu, yakni pertama, moral knowing: (1) moral awareness, (2) knowing moral decision making, (3) perspective taking, (4) moral reasoning, (5) decision making, (6) self knowledge.
Kedua, moral feeling, yang meliputi: (1) conscience, (2) self asteem, (3) empathy, (4) loving the good, (5) self control, (6) humanity.
Ketiga, moral action, yang mencakup: (1) competence, (2) will, (3) habit. Pada tataran moral action, agar peserta didik terbiasa (habit), memiliki kemauan (will), dan kompeten (competence) dalam mewujudkan dan menjalankan nilai-nilai keimanan, maka perlu penciptaan suasana religius di sekolah dan di luar sekolah.
Ini perlu dilakukan mengingat nilai-nilai keimanan yang melekat pada peserta didik kadang-kadang bisa terkalahkan oleh godaan-godaan setan baik yang berupa jin, manusia, maupun budaya negatif yang berkembang disekitarnya. Karena itu, bisa saja peserta didik pada suatu hari sudah berkompeten dan menjalankan nilai-nilai keimanan, namun pada suatu saat yang lain bisa menjadi tidak kompeten lagi.



















BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
1. Asas merupakan hukum dasar, dalam konteks pengembangan kurikulum asas merupakan landasan yang mendasari dalam pembentukan kurikulum pendidikan islami.
2. Asas pengembangan kurikulum meliputi:
a. Asas filosofis
b. Asas psikologis
c. Asas sosiologis
d. Asas organisatoris
e. Asas perkembangan ilmu dan teknologi
3. Prinsip dalam pengembangan kurikulum meliputi:
a. Prinsip relevansi
b. Prinsip fleksibilitas kurikulum
c. Prinsip kontinuitas
d. Prinsip efektivitas
e. Prinsip efisiensi
f. Prinsip berorientasi pada tujuan
g. Prinsip keseimbangan
h. Prinsip keterpaduan
i. Prinsip mutu






Daftar Pustaka
Dakir. 2010. Perencanaan dan Pengembangan Kurikulum. Jakarta: Rineka Cipta.
Halimah, Siti. 2011. Telaah Kurikulum. Medan: Perdana Publishing.
Sanjaya, Wina. 2013. Kurikulum Dan Pembelajaran. Jakarta: kencana,.
Nasution, S. 2001. Asas-Asas Kurikulum. Jakarta: Bumi Aksara.
Neliwati. 2016. Pengembangan Kurikulum Pendidikan Agama Islam. Diktat
Nurdin, Syafruddin. 2005. Guru Professional dan Implementasi Kurikulum. Ciputat: Ciputat Press.
Haditono, Siti Rahayu. 2006. Psikologi Perkembangan: Pengantar Dalam Berbagai Bagiannya. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
Muhaimin. 2005. Pengembangan Kurikulum Pendidikan Agama Islam Di Sekolah, Madrasah Dan Perguruan Tinggi. Jakarta: Raja Grafindo.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar